ORIGINS OF VILLAGE CIKEDUK

ORIGINS OF VILLAGE CIKEDUK


Post-war that occurred at Mount Halak between the troops and the troops Galuh Cirebon, which between them much as a soldier deployed Senopati flagship. Which in turn can be postponed Galuh forces, some are willing to embrace Pepatih Galuh Islamdiantaranya is Ki Gede Ponds. As in the Islamic kingdom of Cirebon, also helped, advanced to the battlefield is the adoptive son of the Sultan of Cirebon himself had appointed as duke named Duke Arya Kemuning. Indeed Kemuning Arya is the son of Ki Gede Luragung. When Princess Ong Tin Sunan Teak wife gave birth, the newly born son died. As a remedy will miss his son who died, then Ong Tin Princess Arya raised Kemuning serve as his adopted son.

Duke Arya Kemuning after foot soldiers to carry out the duties as the Kingdom of Cirebon, then received orders from his father to set up hamlets. Eagerly Duke Kemuning Arya with his followers displacing realization of a dense forest and hamlets.

Then Duke Arya Kemuning make huts to live in and verandah, then make a bale of teak, made with great care. Bale was placed in the hall for deliberation. Duke hamlets founded Arya Kemuning increasingly widespread, and people from other areas to come to the place, they were received by the Duke of Arya Kemuning be happy and be allowed to build the house as a residence. Finally hamlets became more crowded and many of its inhabitants. The situation was heard by Nyi Ayu Pakungwati, so he took a visit to Duke Arya Kemuning hamlets.

Arrival Nyi Pakungwati Ayu received with all due respect. Nyi Ayu Pakungwati are welcome to enter the pavilion, then Nyi Ayu Pakungwati sitting in a large bale is carved in such a way to appear attractive.

In conversation with Nyi Ayu Pakungwati, Duke Arya Kemuning reverent greetings feeling very happy because Nyi visited Ayu Pakungwati that as her mother also, it is an honor for him and his people. Besides Duke Kemuning also pleaded prayer blessing Nyi Ayu Pakungwati hamlets that residents always get welfare.

With a smile Nyi Pakungwati Ayu said that he was very grateful for the initiative of the Duke of Aria Kemuning have built a fairly lively hamlet is a hamlet later this would be the place to stay grandchildren Cirebon.

Furthermore, the Duke of Aria Kemuning Ayu pleaded Nyi Pakungwati to provide clues that can be found adequate water for people living in pedukuhannya it, then tells Duke Nyi Ayu Pakungwati Kemuning untyuk hoe designated land. Duke Arya direct Kemuning doing what they're told by his mother that. With no thought at all, once it did Kedukan dicangkulnya land just out of the water with a very swift. Community abuzz witnessed the incident while saying, cikeduk!, Cikeduk!

The names Kuwu Cikeduk village is known:
1. Kuwu Aris:
2. Kuwu Jubris:
3. Kuwu Jumi:
4. Kuwu Sarbangi:
5. Kuwu Kaernen:
6. Kuwu Yahya:
7. Kuwu Badrun:
8. Kuwu Nursepi:
9. Kuwu Rasawinata: 1927 - 1934
10. Kuwu Asmari: 1938 - 1951
11. Kuwu Joseph: 1958 - 1961
12. Kuwu Jakaria: 1961 - 1974
13. Salim Kuwu SN: 1974 - 1985
14. Kuwu H. Sumardi: 1985 - 2001
15. Kuwu Sakwad: 2001
16. Kuwu Agus, S.Sos

Minggu, 28 September 2014

Sejarah Desa Cikeduk





SATYA NAGARI CIREBON
SEJARAH DESA CIKEDUK
KABUPATEN CIREBON
 JALAN PESANTREN BLOK WARUNG LEPET CIKEDUK DEPOK CIREBON
 

P
asca perang besar yang terjadi di Gunung Gundul antara pasukan Cirebon dan pasukan Galuh, yang di antara keduanya banyak mengerahkan Senopati sebagai prajurit andalannya, yang pada akhirnya pasukan Galuh dapat dikalahkan, beberapa Senopati Galuh bersedia memeluk islam diantaranya Ki Gedeng Talaga (sekarang menjadi nama suatu daerah di Majalengka).
Adapun di pihak Kesultanan Cirebon yang ikut turun langsung berperang melawan Galuh adalah Putra angkat Sunan Gunung Jati  ialah Adipati Arya Kemuning. Adipati Arya Kemuning sesungguhnya Putra dari Ki Gedeng Luragung (Kuningan).
          Seusai melaksanakan tugasnya Adipati Arya Kemuning mendapat amanat dari Sunan Gunung Jati untuk mendirikan pedukuhan/pemukiman, akhirnya Adipati Arya Kemuning bersama pengikutnya memebabad hutan untuk di jadkan pedukuhan.
          Kemudian Adipati Arya Kemuning membuat gubug dan Pendopo untuk tempat tinggal. Kemudian membuat bale dari kayu jati yang dibuatnya sangat hati-hati,(pembuatan bale ini merupakan cikal bakal mata pencaharian sebagian besar warga Cikeduk yaitu usaha Meubel,) bale tersebut di taruh di Pendopo untuk tempat bermusyawarah. Pedukuhan yang di dirikan oleh Arya Kemuning semakin ramai sehingga terdengar oleh Nyi Mas Ayu Pakungwati, Istri Sunan Gunung Jati. S ehingga Beliau ingi berkunjung ke pedukuhan Arya Kemuning.
          Akhirnya Nyi Mas Ayu Pakungwati tiba di pedukuhan. Ia disambut dengan penuh hormat, dan dipersilahkan untuk masuk ke Pendopa lalu dipersilahkan duduk di bale agung.(tempat ini menjati petilasan Nyi Mas Ayu Pakungwati yang terletak di makam asem blok warung lepet). Dalam pembicaraanya Arya Kemuning mengucapkan terima kasih karena pedukuhannya disinggahi oleh Ratu Cirebon sekaligus Ibundanya dan merupakan suatu kehormatan bagi Arya Kemuning dan rakyatnya.
                Selanjutnya Arya Kemuning meminta petunjuk dari Nyi Mas Ayu Pakungwati agar dapat merestui dan menemukan sumber air yang memadai untuk rakyatnya. Lalu Nyi Mas Ayu Pakungwati menunjuk sebidang tanah agar dikeduk tanahnya, seketika kedukan tersebut mengeluarkan air (air dalam basa sunda= cai = Ci ) dengan sangat derasnya, sehingga rakyat yang melihat kejadian tersebut beramai-ramai mengucap caikeduk...CIKEDUK..CIKEDUK!!!
          Hingga sekarang Kedukan tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya Balong Desa yang menjadi sumber air warga Desa Cikeduk.
          Menurut versi lain sejarah terbentuknya Desa Cikeduk adalah seekor kuda putih  Nyi Mas Ayu pakungwati yang kehausan mencari air, kuda tersebut meringkik lari nencari air dan kuda tersebut mengeduk tanah sehingga kedukan tanah itu membentuk kolam dan mengeluarkan air yang sangat deras

Selasa, 19 Agustus 2014

Sanggar Seni Pangeran Wangsakerta SMK Negeri 1 Jamblang Kabupaten Cirebon dirikan pada tanggal 06 Mei 2011 merupakan Ekstrakulikuler Kesenian. Pada awalnya adalah sebuah komunitas seni di SMKN 1 Jamblang, namun lanjut laun ingin mengajukan menjadi salah satu Eskul di SMKN 1 Jamblang, tetapi kala itu tak di gubris oleh pihak sekolah dan akhirnya komunitas seni berusaha untuk diakui sebagai eskul dengan mengikuti pentas seni bulanan tari topeng di kraton kacirebonan pada tahun 2012. Akhirnya komunitas seni mendapatkan apresiasi oleh sekolah dan dijadikan salah satu eskul di sekolah menjadi Ekstrakulikuler Kesenian.
Dan Eskul Kesenian diberi nama Ekstra Seni dan pada tahun 2014 berubah menjadi Sanggar Seni Pangeran Wangsakerta. Nama ini di ambil dari nama tokoh kesultanan Cirebon anak dari panembahan girilaya.  Namanya kami abadikan menjadi nama sanggar kami karna Pangeran Wangsakerta putra Cirebon yang membuat karya yang sangat fenominalnya adalah naskah Wangsakerta.Kita ingin menjadi Seorang Pelajar atau masyarakat yang selalu menghasilkan karya yang positif untuk mengisi kemerdekaan dan melestarikan budaya lokal khususnya budaya Cirebon

Senin, 07 Mei 2012


DESA CIKEDUK



Pasca perang besar yang terjadi di Gunung Gundul antara pasukan Cirebon dan pasukan Galuh, yang diantara keduanya banyak mengerahkan Senopati sebagai prajurit andalannya. Yang pada akhirnya pasukan Galuh dapat diundurkan , beberapa pepatih Galuh bersedia memeluk agama Islamdiantaranya adalah Ki Gede Telaga. Adapun di pihak kerajaan Islam Cirebon, turut pula ,maju ke medan perang adalah putra angkat Sultan Cirebon sendiri yang telah diangkat sebagai adipati bernama Adipati Arya Kemuning. Sesungguhnya Arya Kemuning adalah putra Ki Gede Luragung. Ketika Putri Ong Tin istri Sunan Jati melahirkan, putranya yang baru saja dilahirkan meninggal dunia. Sebagai obat rindu akan putranya yang meninggal dunia, maka Putri Ong Tin mengangkat Arya Kemuning dijadikan sebagai anak angkatnya.

Adipati Arya Kemuning seusai melaksanakan tugas sebagai prajurit andalan Kerajaan Cirebon, kemudian mendapat perintah dari ayahandanya untuk mendirikan pedukuhan. Dengan penuh semangat Adipati Arya Kemuning bersama para pengikutnya menggusur hutan lebat dan terwujudlah suatu pedukuhan.

Kemudian Adipati Arya Kemuning membuat gubuk guna dijadikan tempat tinggal dan pendopo, kemudian membuat bale dari bahan kayu jati yang dibuatnya dengan sangat hati-hati. Bale itu ditempatkan di dalam pendopo untuk bermusyawarah. Pedukuhan yang didirikan Adipati Arya Kemuning makin hari makin luas, kemudian orang-orang dari daerah lain datang ke tempat itu, mereka diterima oleh Adipati Arya Kemuning dengan senang hati dan diijinkan untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggal. Akhirnya pedukuhan itu makin ramai dan banyak penghuninya. Keadaan itu terdengar oleh Nyi Ayu Pakungwati, sehingga beliau menyempatkan diri berkunjung ke pedukuhan Adipati Arya Kemuning.

Kedatangan Nyi Ayu Pakungwati diterima dengan segala hormat. Nyi Ayu Pakungwati dipersilahkan memasuki pendopo, kemudian Nyi Ayu Pakungwati duduk di bale besar yang diukir sedemikian rupa hingga nampak menarik.

Dalam pembicaraannya dengan Nyi Ayu Pakungwati, Adipati Arya Kemuning menyampaikan salam takzim dengan perasaan sangat berbahagia karena dikunjungi Nyi Ayu Pakungwati yang sebagai ibunya juga, itu merupakan kehormatan bagi dirinya dan rakyatnya. Disamping itu Adipati Kemuning juga memohon do’a restu kepada Nyi Ayu Pakungwati supaya penduduk pedukuhan senantiasa mendapat kesejahteraan.

Dengan tersenyum Nyi Ayu Pakungwati berkata bahwa beliau sangat bersyukur atas prakarsa Adipati Aria Kemuning yang telah membangun sebuah pedukuhan yang cukup ramai ini yang kelak pedukuhan ini akan menjadi tempat tinggal anak cucu Cirebon.

Selanjutnya Adipati Aria Kemuning memohon kepada Nyi Ayu Pakungwati untuk memberikan petunjuk agar dapat ditemui air yang memadai untuk kehidupan masyarakat di pedukuhannya itu, kemudian Nyi Ayu Pakungwati menyuruh Adipati Kemuning untyuk mencangkul tanah yang ditunjuknya. Adipati Arya Kemuning langsung mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ibunya itu. Dengan tak diduga sedikitpun, seketika itu pula kedukan tanah yang baru saja dicangkulnya keluar air dengan sangat derasnya. Masyarakat beramai-ramai menyaksikan kejadian itu sambil berucap, cikeduk!, Cikeduk!

Nama-nama Kuwu Desa Cikeduk yang diketahui :
1. Kuwu Aris :
2. Kuwu Jubris :
3. Kuwu Jumi :
4. Kuwu Sarbangi :
5. Kuwu Kaernen :
6. Kuwu Yahya :
7. Kuwu Badrun :
8. Kuwu Nursep :
9. Kuwu Rasawinata : 1927 – 1934
10. Kuwu Asmari : 1938 – 1951
11. Kuwu Yusup : 1958 – 1961
12. Kuwu Jakaria : 1961 – 1974
13. Kuwu Salim SN : 1974 – 1985
14. Kuwu H. Sumardi : 1985 – 2001
15. Kuwu Sakwad : 2001
16. Kuwu Agus S.sos : Sekarang

Jumat, 09 Desember 2011

CIREBON

Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati) [sunting] Pangeran Cakrabuana (…. –1479) Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara. Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang. Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. [sunting] Sunan Gunung Jati (1479-1568) Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. [sunting] Fatahillah (1568-1570) Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.[1] [sunting] Panembahan Ratu I (1570-1649) Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. [sunting] Panembahan Ratu II (1649-1677) Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram. Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri. [sunting] Terpecahnya Kesultanan Cirebon Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon. [sunting] Perpecahan I (1677) Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah: Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703) Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723) Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara. [sunting] Perpecahan II (1807) Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). [sunting] Masa kolonial dan kemerdekaan Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar. Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati. [sunting] Perkembangan terakhir Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN). Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan. Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut

Selasa, 15 November 2011

Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Pajajaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.

Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.[8]
kemudian pada tanggal 7 Januari 1681 Cirebon secara politik dan ekonomi berada dalam pengawasan pihak VOC, setelah penguasa Cirebon waktu itu menanda tangani perjanjian dengan VOC.[9]
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100 ha dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Kemudian pada tahun 1942, Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 ha dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kotapraja dengan luas 3.300 ha, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 ha.
Pada tanggal 15 April 2011, Kota Cirebon diguncang dengan bom bunuh diri. Lokasi pengeboman berada di masjid Mapolresta Cirebon. Pada peristiwa tersebut, pelaku bom bunuh diri tewas seketika, dan terdapat beberapa orang luka parah.[10]